WARUNG H Abdullah ini terletak tidak jauh dari warung Sop Sentral, tepatnya di Pasar Senggol, sekitar Jalan Cokroaminoto. Warung rintisannya masih sederhana: cukup sepasang meja panjang dan bangku untuk pelanggan ditambah gerobak untuk panci tempat memasak kuah sop racikannya.
Sebagai warung makan baru, H Abdullah mentok disoal nama. “Saya tak ingin menyamai nama warungnya bosku,” kenangnya, matanya menerawang. Namun setelah berpikir keras, warung barunya itu kemudian diberi nama: Warung Sop Saudara.
“Saya ingin orang yang lewat di depan warung ini nantinya bersedia mampir makan, karena mengganggap bahwa yang penjual di dalam adalah saudara ji atau keluarga ji,” katanya seraya tersenyum.
Cerita di atas adalah penggalan tulisan berjudul; Legenda Sop Saudara. Satu dari lima ulasan saya yang dimuat dalam buku "Makassar Nol Kilometer".
Buku ini berisi 49 tulisan yang dihasilkan 15 penulis muda ini memotret Fenomena (kejadian yang lambat laun menjadi sesuatu yang rutin), seperti iringan mayat atau perang antar-kelompok. Komunitas (kelompok masyarakat di Makassar yang memiliki sifat khusus), seperti waria di Lapangan Karebosi sampai Suporter PSM.
Juga Ruang (penanda kota atau ruang publik), seperti Lapangan Karebosi dan Fort Roterdam, serta Kuliner (jajanan yang biasa ditawarkan di Makassar), seperti Sop Saudara, Coto atau Sarabba. Makassar Nol Kilometer diterbitkan oleh Penerbit Ininnawa (2005), sebuah buku untuk mereka yang ingin tahu budaya-pop Makassar dan sekitarnya. | *
0 Komentar:
Posting Komentar