FOTO saya tentang kuburan yang berada di tengah lapangan Karebosi Makassar terbit di jurnal bulanan Ajiken World Trends (Japanese title: Ajiken Warudo Torendo) milik Institute of Developing Economies (IDE) Japan External Trade Organization (JETRO) edisi nomor 141 bulan Juni tahun 2007.
IDE adalah sebuah lembaga penelitian yang berafiliasi dengan JETRO milik pemerintah Jepang, bertujuan untuk memberikan kontribusi intelektual kepada dunia sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan pengembangan daerah.
IDE mengumpulkan pengetahuan lokal yang didasarkan pada kekhasan wilayah dan menyebarkan pemahaman yang lebih baik dari daerah-daerah baik di dalam negeri dan luar negeri. Kegiatannya memberikan landasan intelektual untuk memfasilitasi kerjasama antara Jepang dan masyarakat internasional untuk mengatasi isu-isu pembangunan.
Dalam jurnal Ajiken World Trends (versi digitalnya: http://www.ide.go.jp/Japanese/Publish/Periodicals/W_trend/200706.html) itu, foto dan ulasan tentang kuburan Karebosi ini terdapat dalam halaman 37-40 (versi digitalnya: http://www.ide.go.jp/Japanese/Publish/Periodicals/W_trend/pdf/wt_sulawesi0706.pdf).
Tiga foto saya itu merupakan pelengkap dari artikel berjudul; Mitos: Tujuh Penyelamat dari Karebosi, berikut penggalannya:
Konon menurut cerita, Gowa di abad ke-10 dilanda keadaan kacau balau. Gowa bagai sebuah rimba tak bertuan. Orang-orang saling beradu kekuatan. Setiap orang ingin membuktikan bahwa, dirinyalah yang terhebat. Dan akhirnya yang lemah tersingkir dari kehidupan.
Suatu hari di kala itu, Gowa dihantam hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar. Peristiwa itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Dan di hari ke delapan, petir akhirnya berhenti berkilat-kilat dan hujan hanya bersisa pelangi dan gerimis seperti benang halus yang jatuh dari langit. Karebosi yang dulu merupakan hamparan luas nan kering lalu digenangi air.
Lantas sekitar ratusan mata rakyat Gowa saat itu tiba-tiba menyaksikan timbulnya tujuh gundukan tanah di tengah hamparan tersebut. Tujuh orang bergaun kuning keemas-emasan pun muncul sesaat lalu menghilang di tengah gerimis. Yang tersisa kemudian hanya tujuh gundukan tanah berbau harum.
Tak ada yang tahu asal muasal ketujuh orang itu. Namun, rakyat Gowa saat itu percaya kalau mereka adalah tomanurung (semacam dewa dalam mitologi Bugis Makassar) yang dikirimkan oleh Tuhan untuk negeri mereka. Kehadiran tujuh orang yang disebut sebagai Karaeng Angngerang Bosi atau Tuan yang Membawa Hujan, pun menginspirasi rakyat Gowa saat itu untuk memberi nama hamparan yang kemudian mereka jadikan sebagai sawah kerajaan itu.
Jadilah nama Kanrobosi diberikan pada sawah itu. Kanro berarti anugerah yang Maha Kuasa dan bosi berarti hujan atau bisa juga bermakna kelimpahan. VOC kemudian mengubah nama itu jadi Koningsplein. Setelah penjajah Belanda menyerah, nama itu lantas berubah lagi jadi Karebosi seperti yang dikenal banyak orang dewasa ini.
Kurang lebih lima abad kemudian, di bawah kepemimpinan Batara atau Raja Gowa ke-7, tujuh gundukan tanah itu dihormati sebagai tempat berpijak pertama kali tujuh tokoh kharismatik tersebut. Lantas beberapa orang membentuk tujuh gundukan itu menyerupai kuburan dengan cara tiap gundukan diberi batu sebanyak tujuh buah. Cara ini sering dilakukan orang-orang di jaman dahulu untuk menandai sebuah kuburan.
Seiring berjalannya waktu, berziarah ke tujuh kuburan itu dianggap sebagai salah satu warisan tradisi penghormatan masyarakat dan penguasa setempat kepada tujuh tokoh yang diperkirakan turun dari langit tersebut. Pada saat H.M. Daeng Patompo menjabat sebagai Wali Kota Makassar pada 1965-1978, tujuh kuburan itu sempat ditutup. Namun beberapa orang yang percaya akan mitos ketujuh kuburan itu memugarnya kembali.
Artikel Mitos: Tujuh Penyelamat dari Karebosi ini ditulis oleh Nilam Indahsari dan awalnya dipublikasikan pada blog jurnalisme warga Panyingkul.com, Agustus 2006: http://www.panyingkul.com/view.php?id=25. | *
0 Komentar:
Posting Komentar