Hilangnya Pancasila dari Sekolah

1 Juni 2011

SIANG tadi, saya begitu tertarik menyimak pidato Presiden ke-3 RI Baharuddin Jusuf Habibie yang disampaikan pada Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Habibie mengungkapkan, tidak melihat Pancasila benar-benar diamalkan oleh komponen bangsa Indonesia. Pendapat Habibie ini tentu tak ingin sekadar mengajak ingatan kita menyelami kembali nilai-nilai Pancasila, namun lebih karena Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi.

Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Dalam pidato berjudul Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara itu, Habibie mengawalinya dengan menceritakan proses kelahiran Pancasila; ketika Bung Karno menyampaikan pandangannya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka, pada 1 Juni 1945.

Kemudian, menteri era Presiden Soeharto itu memaparkan kalau selama 66 tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era Reformasi saat ini.

Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah. Memasuki era reformasi, 1998, bangsa ini menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang.

Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?

Habibie mengatakan hilangnya Pancasila menyebabkan munculnya berbagai tindakan radikalisme dan kekerasan atas nama suku, agama, ras, budaya dan afiliasi politik. Menurutnya, kekerasan atas nama agama yang paling sering terjadi, akibat sikap melupakan Pancasila sebagai dasar negara.

Bahkan bangsa ini justru semakin terlihat tumbuh radikalisme, kekerasan yang mengatasknamakan agama yang marak terjadi. Sikap intoleransi dan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan menjadi kontraproduktif dengan bangsa kita yang multikultural. Tindakan teror menunjukkan budaya semakin tipis dan luluhnya Pancasila dalam menghargai perbedaan.

Karenanya Habibie mengajak semua tokoh masyarakat, kaum cendikiawan dan rakyat Indonesia untuk kembali menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila yang dinilainya telah terkikis. Ia beharap ada ruang publik yang dibuka untuk membuka komunikasi yang yang luas diantara masyarakat, agar perbedaan tak menjadi halangan bagi bangsa untuk maju.

Karena kebelum-berhasilan melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut, menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia. Saya lantas teringat saat duduk di bangku sekolah menengah, Pancasila menjadi salah satu mata pelajaran yang diajarkan dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP).

Lalu entah mengapa mata pelajaran ini kemudian dihapus dan diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan, tanpa embel-embel Pancasila. Selain itu dulu katika pertamakali masuk perguruan tinggi, para mahasiswa mesti mengikuti P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Tujuannya jelas untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah negara pada generasi muda.

Dan saat ini, setelah "hilang dari sekolah" sekian lama, pemerintah berencana mengembalikan mata pelajaran Pancasila sebagai bagian dari revitalisasi peran Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pemerintah baru menyadari kalau Pancasila harus kembali menjadi ideologi negara. sejalan dengan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa sekitar 80 persen masyarakat melihat Pancasila sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan masyarakat menyadari Pancasila merupakan pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keinginan pemerintah untuk "mengembalikan Pancasila ke sekolah" ini patut disambut baik agar Pancasila tak tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu bangsa, sebagaimana dikuatirkan Habibie. | **

0 Komentar:

Posting Komentar

 
IHSYAH blogwork | lihat juga BLOGSPOTISME