SUDAH lama saya tidak menulis puisi. Ritme rutinitas saya menyita banyak perhatian dan waktu hingga tak menyisakan tempat berkontemplasi. Realitas yang saya jalani pun tak menyodorkan romantisme untuk diabadikan. Saya kehilangan energi kreatif dalam meramu kata, menyusun kalimat, menulis puisi yang memukau.
Padahal dalam kurun waktu 1996-2006, puisi-puisi saya terpublikasi meluas. Mengisi kolom sastra media lokal bahkan nasional. Hadir dalam terbitan bulanan, juga buku. Kalau menulis puisi membutuhkan sebuah alasan, maka 'alasan' inilah yang tidak menghinggapi benak saya.
Kata-kata menguap begitu saja. Tak ada yang sempat terabadikan. Peristiwa-peristiwa berlalu begitu saja tanpa mampu kurekam dengan gramatik. Peristiwa-peristiwa berlangsung berentetan tanpa sempat merefleksinya.
"Kalau rumah bagi penyair adalah puisi. Saya mesti bergegas pulang."
Seketika saya teringat perkataan seorang teman penyair; "dua hal yang membuat puisi dapat dengan mudah lahir; saat jatuh cinta dan saat patah hati." Lantas apakah saya mesti jatuh cinta (lagi) untuk bisa mencipta puisi? Mesti patah hati (dulu) agar dapat kembali bersajak-sajak?
Namun kerinduan itu akhirnya datang. Keinginan untuk kembali ke rumah, kembali merangkai kata. Keinginan untuk 'pulang' ini terpicu juga oleh bencana yang melanda tanah air, banjir di Ibukota Jakarta akhirnya melahirkan puisi ini:
Jakarta di Awal Musim
hujan menderas
hati pun cemas
rumah-rumah luput dikemas
karena raga mesti bergegas
sebelum jiwa terlepas
terbawa arus deras
"Yah, kalau rumah bagi penyair adalah puisi. Saya akhirnya pulang."
0 Komentar:
Posting Komentar