Patwal Presiden Resahkan Warga

18 Juli 2010

SEORANG warga Cibubur, Hendra NS, memohon kepada Presiden SBY untuk menetap di Istana dan tidak bolak-balik ke Cikeas. Pasalnya, ia punya mengalaman tak menyenangkan ketika berhadapan dengan Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden.

Pengalamannya itu ia ceritakan kepada Kompas dalam bentuk surat pembaca. Surat pembaca berjudul Trauma oleh Patwal Presiden itu menjadi tema perkicauan di Twitter yang kemudian mendapatkan tanggapan dari berbagai kalangan. Keinginan Hendra agar Presiden SBY tinggal di Istana Negara menjadi polemik dan topik sejumlah media.

Tanggapan yang lantas berkembang menjadi desakan agar SBY lebih sensitif terhadap penderitaan rakyat. Berikut ini uneg-uneg Hendra yang dimuat di harian Kompas edisi Jumat (16/7/2010):

Sebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya –juga mayoritas pengguna jalan itu– memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal.

Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya. Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar sirene dan hardikan petugas lewat mikrofon untuk segera menyingkir.

Saya pun sadar, pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman.
Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan.

Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setir ke kiri.


Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan. Bingung dan panik, saya pun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan.

Patwal di depan turun dan menghajar kap mobil sang wartawan, memukul spion mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman,"Apa mau Anda saya bedil?"

Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpatan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara. Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya. Saya jelaskan situasi tadi.

Amarahya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti "dari mana sumber suara speaker itu?", atau "mestinya kamu ikuti saya saja", atau "tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri".


Permintaan saya dipertemukan dengan oknum pemberi perintah dari pelantam tak digubris. Intimidasi hampir 10 menit yang berlangsung tepat didepan Kantor Jasa Marga itu tak mengetuk hati satu pun dari anggota Patwal lain yang menyaksikan kejadian itu. Paling tidak, menunjukkan diri sebagai pelayan pelindung masyarakat.

Karena dialog tak kondusif, saya buka identitas saya sebagai wartawan untuk mencegah oknum melakukan tindak kekerasan. Ia malah melecehkan profesi wartawan dan tak mengakui perbuatannya merusak mobil saya. Identitasnya tertutup rompi.

Oknum ini malah mengeluarkan ocehan, "Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?"
Saat rombongan SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan saya dan putri saya yang terbengong-bengong.

Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.

Hendra NS - Cibubur

Surat Hendra ini menjadi cerminan keresahan warga yang mestinya ditanggapi secara arif oleh lembaga kepresidenan. Sebab ini adalah realita yang terjadi di jalan ketika iring-iringan Presiden atau pejabat negara lainnya ketika melintas di jalan raya.

Tentu ini bukan kasus pertama, namun keberanian Hendra mengungkapkan pengalaman buruknya di media patut diapresiasi. | **

0 Komentar:

Posting Komentar

 
IHSYAH blogwork | lihat juga BLOGSPOTISME