Chairil Anwar dan Hari Sastra Nasional

28 April 2011

HARI ini, 28 April, merupakan Hari Sastra Nasional. Hari untuk mengenang berpulangnya penyair Chairil Anwar yang mengembuskan napas terakhirnya pada 28 April 1949.

Di era tahun 1950-an, masyarakat peduli sastra Indonesia, khususnya mahasiswa sastra di Universitas Indonesia, Jakarta dan Universitas Gajah Mada Yogjakarta, secara rutin setiap tahun memperingati Hari Sastra pada 28 April.

Diperingatinya 28 April sebagai Hari Sastra di tanah air memiliki banyak pertimbangan. Diantaranya karena Chairil Anwar adalah pembaru dalam sastra Indonesia khususnya di bidang puisi.

Chairil adalah seorang pelopor dalam sastra Angkatan 45, di samping pernah dituduh sebagai plagiator. Penyair yang dijuluki “binatang jalang” ini meninggalkan kesan yang amat mendalam bagi bangsa Indonesia sampai kini.

Sajak-sajak Chairil dipelajari dari jenjang pendidikan tingkat SD sampai Perguruan Tinggi dan dijadikan objek analisis untuk menyelesaikan pendidikan S1 bahkan ada yang S2 dan S3. Pribadi Chairil sangat unik, berpenampilan nyentrik dan ide-ide puisinya sangat komplet. Mulai dari puisi realisme, individualis, religius sampai romantisme.

Hidup Chairil penuh kontroversi karena selain disanjung tinggi-tinggi, juga diremehkan dan dicaci maki. Cacian dan makian itu datangnya dari rekan-rekan sastrawan yang bernaung di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berseberangan dengan Lembaga Kebudayaan Nasional, di mana Chairil ada di dalamnya.

Lekra sebagai organisasi kebudayaan di bawah PKI waktu itu menuduh karya-karya Chairil sebagai hasil plagiat dari penyair-penyair asing. Melalui sajak “Aku”, Chairil kelahiran Medan tanggal 22 Juli 1922 dicap sebagai pribadi yang super-ego oleh Lekra karena bertentangan dengan paham PKI yang beraliran realisme sosialis.

Walaupun Chairil berada di barisan LKN, ia tidak terlibat dalam politik praktis. Namun Lekra tetap saja menilainya sebagai orang yang perlu diwaspadai. Dalam salah satu suratnya pada 1944 kepada HB Jassin, ia secara tegas mengatakan bahwa kesenian dan kesusastraanlah yang menjadi pilihan hidupnya.

Pernyataan itu menyiratkan bahwa ia tidak akan memilih hidup sebagai politikus. Paling tidak sampai akhir hayatnya, Chairil tetap konsisten dengan ucapannya tersebut. Ia meninggal dalam usia yang relatif muda (27 tahun).

Chairil adalah legenda. Cerita lain tampak dalam peristiwa yang kemudian dikisahkan kembali oleh Evawani Alissa, satu-satunya anak Chairil—yang ditinggal mati saat usianya baru 10 bulan. Dalam sebuah percakapan dengan Hapsah Wiriaredja, ibu Evawani, Chairil berucap bahwa jika umurnya bakal panjang, dirinya akan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Namun, jika usianya pendek, sebagaimana kata Chairil, “Anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga.” Chairil tidak salah. Usianya memang pendek. Dihitung dari tanggal lahirnya, 26 Juli 1922, umurnya tak sempat genap 27 tahun.

Soal anak-anak sekolah, esensinya, dia juga benar: namanya menjadi hafalan wajib dan sajak-sajaknya menjadi bacaan wajib, terutama untuk mata pelajaran bahasa Indonesia.

Soal ziarah dan menabur bunga, tampaknya tak harus dimaknakan secara harfiah. Yang jelas, hingga kini tanggal kematiannya diam-diam telah dijadikan sebagai patokan Hari Sastra Nasional. Dan seperti juga isi sajak AKU, Chairil akan tetap "hidup" seribu tahun lagi.

AKU//Kalau sampai waktuku/'Ku mau tak seorang kan merayu/Tidak juga kau//Tak perlu sedu sedan itu/Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang//Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang//Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri//Dan aku akan lebih tidak perduli/Aku mau hidup seribu tahun lagi [Maret 1943]. | sumber bacaan: Menggali Tradisi Hari Sastra Nasional, I Nyoman Suaka dan blog Sajak-Sajak Chairil Anwar.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
IHSYAH blogwork | lihat juga BLOGSPOTISME