Kisah Guru Tak Sanggup Sekolahkan Anaknya

15 Januari 2011

TIBA-TIBA saya tergelitik membaca sebuah cerita atau berita tantang kisah seorang guru yang mengajar di daerah transmigrasi, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo.

Guru itu bernama Sri, perempuan asli Surabaya, Jawa Timur. Kisah Sri ini saya baca di situs tongkolmuda.com, membacanya membuat saya tertarik untuk menceritakannya kembali di blog ini.

Di tengah program pendidikan gratis yang digalakkan pemerintah, masih ada juga masyarakat yang belum bisa menyekolahkan anaknya. Ironisnya, orangtua anak yang tak bersekolah ini adalah seorang guru.

Guru Sri terlihat sangat sederhana. Bukannya ingin berpenampilan sederhana, namun Sri ternyata memang hidup serba kekurangan. Jangankan membeli baju dan sepatu baru untuk mengajar, menyekolahkan anaknya saja ia tak sanggup.Diakui Sri, putra tercintanya hanya bisa mencicipi pendidikan hingga bangku SMP saat masih tinggal di Surabaya. Gaji dua ratus lima puluh ribu yang diterimanya setiap bulan hanya habis untuk makan.

Sri dan dan suaminya yang baru setahun menjadi transmigran di daerah itu, belum bisa berbuat banyak untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi. Sejak pertama kali mengajar, Sri memang tak pernah berharap profesinya bisa menghasilkan banyak uang. Ia mengambil keputusan untuk menghabiskan hidupnya menjadi pendidik saat usianya baru menginjak dua puluh tahun.
Sri adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1984. Ia mengawali tugasnya di SD Al Jihad, Surabaya. Saat itu, gajinya hanya lima belas rupiah.

Selama mengajar, Sri juga memberanikan diri kuliah di Universitas Tri Tunggal, Surabaya, meski gajinya tentu tak cukup untuk itu. Beruntung, Sri selalu menerima beasiswa dan akhirnya sukses meraih gelar sarjana.
Pernah, Sri berpikir dan mencoba untuk berhenti saja menjadi guru dan terjun sebagai buruh tani.

Namun, sehari pun ia tak bisa melakukannya karena Sri mengaku terlanjur cinta pada dunia pendidikan. Titel sarjana yang diraihnya susah payah, menjadi beban tersendiri baginya. Sri tak boleh menyia-nyiakan ilmunya.
Kegigihan Sri sebagai guru abdi menghantarkannya menjadi satu dari tujuh pemenang dalam Suharso Monoarfa Award (SUMO) Awards tahun 2010 untuk kategori guru pejuang.

Bersama 34 nominator dalam penghargaan tersebut, Sri dianggap memiliki dedikasi luar biasa dalam mencerdaskan bangsa ini.
Miris nian nasib Sri. Dua puluh enam tahun menjadi guru abdi, tak serta merta membuatnya bisa menyekolahkan sang anak. Hatinya pilu setiap kali melihat puluhan siswa yang diajarnya. Di sisi lain, di usianya yang kini menginjak 46 tahun, harapan Sri menjadi Pegawai Negeri Sipil pun tertutup sudah.

Begitu banyak harapan di pikirannya yang membuat kehidupan Sri makin memperihatinkan. Harapan agar anaknya bisa mengecap pendidikan. Pun, harapan supaya besaran gajinya kelak akan layak, untuk mengubah nasib putranya agar tak berakhir di ladang.


Kisah Sri ini tentu memberi gambaran bahwa peningkatan pendidikan masih perlu dibenahi. Program pembangunan bidang pendidikan yang menginginkan agar tak ada lagi anak usia sekolah yang tak bersekolah masih penuh tantangan.

Ini tentu menjadi tanggung jawab bersama, negara, pemerintah dan masyarakat. Agar cita-cita mencerdasakan kehidupan bangsa dapat diwujudkan. | **

0 Komentar:

Posting Komentar

 
IHSYAH blogwork | lihat juga BLOGSPOTISME