Menyelami Hakikat Kemuliaan

11 Desember 2010

kaligrafiSEBUAH sebuah catatan manarik, catatan yang bersumber dari artikel falsafah hidup Buya Hamka. Catatan ini menceritakan tentang hakikat kemuliaan, ditulis ulang seorang teman yang diposting dalam akun Facebooknya.

Saat ini, makna kemuliaan memang mengalami pergeseran di tengah hidup yang makin materalistis. Banyak orang memahami kalau kemuliaan adalah nilai materi. Padahal sejatinya, yang bernama kemuliaan ialah kemuliaan jiwa. Jiwa yang melepaskan diri dari kerendahan dan perhambaan. Mari kita baca catatan itu;

Manusia seringkali mengejar kemuliaan. Sebagian orang menyangka orang yang patut disebut mulia ialah orang yang memiliki harta yang banyak-mobilnya ditukar setiap enam bulan menurut model yang terbaru, bertumpuk-tumpuk harta dan banyak menyimpan uang dalam Bank.

Tetapi orang ini tidak segan melakukan kecurangan, korupsi, kecabulan yang orang lain tidak tahu atau seakan-akan tidak tahu karena takut akan menyinggung kemuliaan beliau itu. Begitu juga kata sebagian orang, kemuliaan ialah mendapat gelar dan pangkat kehormatan. Terhias pula bintang di dada. Orang ini pun belum tentu mulia karena kadang-kadang kehormatan dan pangkat diperoleh melalui cara-cara yang tidak terpuji.

Orang yang layak disebut mulia ialah orang yang menang melawan menghadapi nafsunya yang jahat, menegakkan budi pekerti yang mulia untuk kemaslahatan ummat, bangsa dan agama serta manusia keseluruhannya. Ia berusaha memperbaiki dan memperhaluskan budi.

Yang bernama kemuliaan ialah kemuliaan jiwa. Jiwa yang melepaskan diri dari kerendahan dan perhambaan. Kemuliaan ialah membangunkan umat yang binasa, membuka selubung kebodohan, menuntut hak yang terampas, memberi ingat kemuliaan yang hilang, membangunkan yang lalai dan menyedarkan dari lengah, mempersatukan suara dan meningkatkan semangat. Orang yang sanggup bekerja demikian, itulah orang yang mulia.

Meskipun tempat tinggalnya hanya sebuah pondok buruk dan pakaian yang sederhana. Walaupun dia hanya makan seadanya, tidur di atas tikar karena miskinnya, mengembara ke hilir ke mudik, ke lurah dan ke bukit.

Jiwa yang demikian cukup untuk menjadi perhiasannya dan cukup menjadi tanda kesempurnaannya. Itulah hidup yang tenteram dalam hati. Itulah jasa yang tertulis sepanjang zaman yang selamanya tiadakan pupus. Ke sanalah kita sekalian harus berlomba. | **

0 Komentar:

Posting Komentar

 
IHSYAH blogwork | lihat juga BLOGSPOTISME