SEBUAH sebuah catatan manarik, catatan yang bersumber dari artikel falsafah hidup Buya Hamka. Catatan ini menceritakan tentang hakikat kemuliaan, ditulis ulang seorang teman yang diposting dalam akun Facebooknya.
Saat ini, makna kemuliaan memang mengalami pergeseran di tengah hidup yang makin materalistis. Banyak orang memahami kalau kemuliaan adalah nilai materi. Padahal sejatinya, yang bernama kemuliaan ialah kemuliaan jiwa. Jiwa yang melepaskan diri dari kerendahan dan perhambaan. Mari kita baca catatan itu;
Manusia seringkali mengejar kemuliaan. Sebagian orang menyangka orang yang patut disebut mulia ialah orang yang memiliki harta yang banyak-mobilnya ditukar setiap enam bulan menurut model yang terbaru, bertumpuk-tumpuk harta dan banyak menyimpan uang dalam Bank.
Tetapi orang ini tidak segan melakukan kecurangan, korupsi, kecabulan yang orang lain tidak tahu atau seakan-akan tidak tahu karena takut akan menyinggung kemuliaan beliau itu. Begitu juga kata sebagian orang, kemuliaan ialah mendapat gelar dan pangkat kehormatan. Terhias pula bintang di dada. Orang ini pun belum tentu mulia karena kadang-kadang kehormatan dan pangkat diperoleh melalui cara-cara yang tidak terpuji.
Orang yang layak disebut mulia ialah orang yang menang melawan menghadapi nafsunya yang jahat, menegakkan budi pekerti yang mulia untuk kemaslahatan ummat, bangsa dan agama serta manusia keseluruhannya. Ia berusaha memperbaiki dan memperhaluskan budi.
Yang bernama kemuliaan ialah kemuliaan jiwa. Jiwa yang melepaskan diri dari kerendahan dan perhambaan. Kemuliaan ialah membangunkan umat yang binasa, membuka selubung kebodohan, menuntut hak yang terampas, memberi ingat kemuliaan yang hilang, membangunkan yang lalai dan menyedarkan dari lengah, mempersatukan suara dan meningkatkan semangat. Orang yang sanggup bekerja demikian, itulah orang yang mulia.
Meskipun tempat tinggalnya hanya sebuah pondok buruk dan pakaian yang sederhana. Walaupun dia hanya makan seadanya, tidur di atas tikar karena miskinnya, mengembara ke hilir ke mudik, ke lurah dan ke bukit.
Jiwa yang demikian cukup untuk menjadi perhiasannya dan cukup menjadi tanda kesempurnaannya. Itulah hidup yang tenteram dalam hati. Itulah jasa yang tertulis sepanjang zaman yang selamanya tiadakan pupus. Ke sanalah kita sekalian harus berlomba. | **
Menyelami Hakikat Kemuliaan
IHSYAH
11 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Populer
-
MALAM ini seorang teman bertanya melalui SMS, apa kriteria penilaian dalam sebuah lomba foto? Singkat, saya menjawab, sebenarnya tak ada kri...
-
KALAU senang dengan suasana alam yang asri, maka kawasan Taman Wisata Alam Bantimurung jadi pilihan tepat. Sebagai andalan pariwisata Kabupa...
-
NAMA Desa Samangki tentu belum dikenal meluas, namun jika menyebut Taman Wisata Alam Bantimurung, tentu sudah tak asing lagi. Begitu pula de...
-
Bagi kamu yang baru belajar mengoperasikan perangkan komputer, mungkin masih asing dengan papan keyboard. Kenapa tombolnya begitu banyak? Pe...
-
PELAJAR sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kediri-Jawa Timur diduga menjadi aktor dan aktris video porno. Dalam sepekan ini, film biru ya...
-
Bukit Tamangura di Dusun Samariga Desa Baruga Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan menyimpan keindahan tersendiri. Pun...
-
Pernahkah kamu membayangkan bagaimana Fotografi dilakukan di jaman dahulu? Bagaimana para Fotografer pionir menemukan hasrat mereka pada ker...
-
BERDOA adalah ibadah. Bahkan dikatakan sebagai ruhnya ibadah. Orang yang hidupnya tidak dilewati dengan berdoa maka ia adalah makhluk yang s...
0 Komentar:
Posting Komentar