Membaca Kembali Legenda Benti Merrung

26 Desember 2011

MALAM ini saya kembali berbagi cerita legenda Banti Merrung, cerita asal mula Bantimurung, kawasan wisata alam yang terkenal dengan air terjun dan kupu-kupu.

Meski cerita ini bukanlah hal baru dan sudah sering dipaparkan di sejumlah website dan blog, namun selalu menarik, terutama bagi yang belum pernah membacanya.

Saya pertamakali menulis muassal Bantimurung ini pada tahun 2006 dan dipublikasikan pertamakali di Panyingkul.com, sebuah website yang mengusung semangat jurnalisme warga dengan semboyan; Jurnalisme Orang Biasa. Tulisan ini kemudian direposting sebanyak 377 entry (berdasarkan penelusuran Google dengan kata kunci; benti merrung).

Paparan tentang sejarah Bantimurung ini dimulai sejak masa Perjanjian Bungaya I dan II (1667-1669) saat Maros ditetapkan sebagai daerah yang dikuasai langsung oleh Belanda. Ketika itu, wilayah Kerajaan Maros diformulasikan dalam bentuk Regentschaap yang dipimpin oleh penguasa bangsawan lokal bergelar Regent (setingkat bupati).

Setelah itu, Maros berubah menjadi Distrik Adat Gemenschaap yang dipimpin oleh seorang kepala distrik yang dipilih dari bangsawan lokal dengan gelar Karaeng, Arung atau Gallarang. Kerajaan Simbang merupakan salah satu Distrik Adat Gemenschaap yang berada dalam wilayah Kerajaan Maros. Distrik ini dipimpin oleh seorang bangsawan lokal bergelar Karaeng.

Pada sekitar tahun 1923, Patahoeddin Daeng Paroempa menjadi Karaeng Simbang. Ia mulai mengukuhkan kehadiran kembali Kerajaan Simbang dengan melakukan penataan dan pembangunan di wilayahnya. Salah satu program yang dijalankannya ialah dengan melaksanakan pembuatan jalan melintas Kerajaan Simbang agar mobilitas dari dan ke daerah-daerah di sekitarnya menjadi lancar.

Pembuatan jalan ini, rencananya akan membelah daerah hutan belantara. Namun, suatu waktu pekerjaan tersebut terhambat akibat terdengarnya bunyi menderu dari dalam hutan yang menjadi jalur pembuatan jalan tersebut.

Saat itu, para pekerja tidak berani melanjutkan pekerjaan pembuatan jalan. Karena suara gemuruh tersebut begitu keras. Karaeng Simbang yang memimpin langsung proyek ini lalu memerintahkan seorang pegawai kerajaan untuk memeriksa ke dalam hutan belantara asal suara itu.

Usai sang pegawai kerajaan melakukan pemeriksaan lokasi, Karaeng Simbang lalu bertanya; “Aga ro merrung?” (Bahasa Bugis; suara apa itu yang bergemuruh?).
“Benti, Puang,“ (Air, Tuanku), jawab sang pegawai tadi.

"Benti", adalah Bahasa Bugis halus atau tingkat tinggi untuk air. Kosa kata seperti ini biasanya diucapkan oleh seorang hamba atau rakyat jelata ketika bertutur dengan kaum bangsawan. Mendengar laporan tersebut, Karaeng Simbang lalu berkenan melihat langsung asal sumber suara gemuruh dimaksud.

Sesampainya di tempat asal suara, Karaeng Simbang terpana dan takjub menyaksikan luapan air begitu besar merambah batu cadas yang mengalir jatuh dari atas gunung. Beliau lalu berujar; “Makessingi kapang narekko iyae onroangngnge diasengi Benti Merrung!“ (Mungkin ada baiknya jika tempat ini dinamakan air yang bergemuruh).

Berawal dari kata Bentimerrung inilah kemudian berubah bunyi menjadi Bantimurung. Penemuan air terjun tersebut membuat rencana pembuatan jalan tidak dilanjutkan. Malah, daerah di sekitar air terjun tersebut dijadikan sebagai sebuah perkampungan baru dalam wilayah Kerajaan Simbang. Kampung ini dikepalai oleh seorang kepala kampung bergelar Pinati Bantimurung.

Saat ini, Bantimurung menjadi salah satu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Maros, begitu pula Simbang. Sedangkan air terjun Bantimurung menjadi kawasan wisata alam. Air terjun ini memiliki ketinggian kurang lebih 30 meter dari permukaan tanah dengan lebar 15 meter. Menggemuruh sepanjang tahun sehingga menjadikannya tempat rekreasi yang sangat populer.

Dalam mempromosikan kawasan wisata alam Bantimurung, Pemerintah Kabupaten Maros pernah membuat akronim nama Bantimurung yang mirip parodi yaitu: Banting Murung, tempat membanting kemurungan. Karena saat berwisata di Bantimurung, kemurungan pun sirna.

Adapun Karaeng Simbang wafat pada tahun 1957 dan dimakamkan di Belakang Masjid Pakalu (salah satu kampung dalam wilayah Kerajaan Simbang, sekarang bernama Lingkungan Pakalu dalam wilayah Kecamatan Bantimurung), yang dibangun dengan dana swadaya di atas tanah pribadinya. Karena itulah ia bergelar Matinroe ri Masigi’na (yang dimakamkan di mesjidnya). Nama lengkapnya, Patahoeddin Daeng Paroempa Sultan Iskandar Muda Matinroe ri Masigi’na.

Legenda Benti Merrung ini adalah nukilan cerita dari naskah novel sejarah Maros yang ditulis oleh pemerhati budaya Maros, Fahry Makkasau yang sedang saya edit dan usahakan penerbitannya kala itu. Sampai sekarang, naskah itu masih saya simpan dan masih dalam proses dibukukan.

Legenda ini saya sajikan kembali sebagai penguatan wacana Bantimurung Objek Wisata Terbaik di Sulawesi Selatan. | sumber gambar: Waterval bij Maros, litograf setelah cat air asli oleh J.C. Rappard De, 1883-1889, Tropenmuseum

0 Komentar:

Posting Komentar

 
IHSYAH blogwork | lihat juga BLOGSPOTISME