ADA rasa bangga menyeruak ketika saya membaca artikel tentang penerbit Ininnawa Makassar. Artikel itu terbit di Harian Kompas. Terlebih artikel itu mengulas orang-orang yang saya kenal, berikut petikan artikel itu:
Ingar-bingar unjuk rasa mahasiswa di Makassar yang berujung rusuh sudah menjadi suguhan sehari-hari layar televisi. Begitu mendengar kata ”Makassar”, seketika ingatan kolektif khalayak tertuju pada situasi onar.
Di balik hiruk-pikuk mahasiswa di jalan raya, sekelompok mahasiswa dan sarjana lintas disiplin ilmu mencoba mengimbangi stigma itu dengan kegiatan intelektual. Menerjemahkan hasil penelitian bertema sosial-budaya dan kemudian menerbitkannya dalam bentuk buku merupakan keseharian anak-anak muda yang dikenal sebagai komunitas Ininnawa ini. Dalam bahasa setempat, ininnawa artinya harapan dan cita-cita.
Hasilnya, enam tahun terakhir, 20 judul buku mengenai kajian masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat telah terbit. Masyarakat Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar yang mendiami jazirah selatan Pulau Sulawesi kini bisa mendapatkan literatur seputar kebudayaan mereka sendiri yang selama ini didominasi pihak asing.
Sebutlah, misalnya, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17 karya Leonard Y Andaya (pengajar sebuah universitas di Hawaii, Amerika Serikat). Buku ini coba menyajikan sudut pandang alternatif atas perseteruan Arung Palakka dengan Sultan Hasanuddin.
Judul lain Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar: Pengetahuan Simbolik dan Kekuasaan Tradisional Makassar 1300- 2000. Hasil penelitian Thomas Gibson, peneliti Universitas Rochester, Amerika, ini mengulik simbol-simbol budaya dan kekuasaan di Makassar.
Setahun terakhir, sebuah buku pembelajaran seksual bersumberkan kitab Lontara’ sempat membuat heboh khalayak karena kevulgarannya menyaingi buku Kamasutra. Hasil penelitian Mukhlis Hadrawi itu terpajang di toko-toko buku dengan judul Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis.
Komunitas Ininnawa, yang terintis 10 tahun silam, setidaknya telah ikut mewarnai peradaban di jazirah selatan Sulawesi. Euforia unjuk rasa dan gemuruh roda kapitalisme perlu diimbangi gerakan kultural.
Ulasan Harian Kompas tentang aktifitas komunitas dan penerbit Ininnawa Makassar ini merupakan apresiasi terhadap kerja kreatif yang sarat konsistensi. | sumber: Harian Kompas.
Ininnawa: Inspirasi dari Makassar
IHSYAH
7 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Populer
-
SEBELUM menonton video porno " kepergok_mesum_di_hutan.3gp " ini, pastikan kamu sudah berumur lebih dari 17 tahun. Namun jika ngeb...
-
MALAM ini seorang teman bertanya melalui SMS, apa kriteria penilaian dalam sebuah lomba foto? Singkat, saya menjawab, sebenarnya tak ada kri...
-
Bukit Tamangura di Dusun Samariga Desa Baruga Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan menyimpan keindahan tersendiri. Pun...
-
SAYA mencoba memaknai lebaran sebagai hari kemenangan, juga kekalahan; kemenangan bagi yang berhasil mengalahkan hawa nafsunya dan kekalahan...
-
AKHIR pekan ini, saya memilih berkumpul dengan teman-teman lama. Teman-teman kampus yang dulu 'senasib' merambah rimba pengetahuan d...
-
SAAT ini, munculnya beragam kasus yang bersumber dari internet atau dunia maya banyak terdengar. Kasus-kasus tersebut akibat postingan dan t...
-
KEMATIAN mantan penguasa Libya, Muammar Khadafi telah memasuki hari ke-3 setelah tewas dalam serangan Dewan Transisi Nasional Libya (NTC), p...
-
LAMA tak mengunjungi situs Klinik Fotografi Kompas , hari ini saya menemukan sebuah artikel menarik berjudul "Menjawab Tiga Pertanyaan ...
0 Komentar:
Posting Komentar